Pondok Gontor didirikan pada 10 April 1926 di Ponorogo, Jawa Timur oleh tiga bersaudara putra Kiai Santoso Anom Besari. Tiga bersaudara ini adalah KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam Imam Zarkasyi dan yang kemudian dikenal dengan istilah Trimurti.
Pada masa itu pesantren ditempatkan diluar garis modernisasi, dimana para santri pesantren oleh masyarakat dianggap pintar soal agama tetapi buta akan pengetahuan umum. Trimurti kemudian menerapkan format baru dan mendirikan pondok gontor dengan mempertahankan sebagian tradisi pesantren salaf dan mengubah metode pengajaran pesantren yang menggunakan sistem wetonan (massal) dan sorogan (individu) diganti dengan sistem klasik seperti sekolah umum. Pada awalnya Pondok Gontor hanya memiliki Tarbiyatul Atfhfal (setingkat taman kanak kanak) lalu meningkat dengan didirikannya Kulliyatul Mu'alimat Al-Islami (KMI) yang setara dengan lulusan sekolah menengah pertama. Pada tahun 1963 pondok gontor mendirikan Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
Pesantren Gontor dikelola oleh Badan Wakaf yang beranggotakan Tokoh-tokoh alumni pesantren dan Tokoh yang peduli Islam sebagai penentu Kebijakan Pesantren dan untuk pelaksanaannya dijalankan oleh tiga orang pengasuh (Kyai)yaitu KH. Hasan Abdullah Sahal (Putra KH Ahmad Sahal). KH Sukri Zarkasy (putra KH.Imam Zarkay)dan KH. Muhammad Badri. Tradisi pengelolaan oleh tiga pengasuh ini melanjutkan pola Trimurti (Pendiri).
Pada saat peristiwa Madiun tahun 1948 saat Muso telah menguasai daerah Karesidenan Madiun (Madiun Ponorogo, Magetan, Pacitan dan Ngawi)dan membunuhi banyak tokoh agama,TNI sudah dilumpuhkan oleh PKI, Pesantren Gontor diliburkan dan santri serta ustadnya hijrah dan menghindar dari kejaran pasukan Muso. KH.Ahmad Sahal(alm)selamat dalam sembunyian di sebuah Gua di pegunungan daerah Mlarak. Gua tersebut kini disebut dengan Gua Ahmad Sahal. Kegitan Pendidikan Pesntren dilanjutkan kembali setelah kondsi normal.
Pandangan Modern KH Ahmad Sahal, sebagai Pendiri tertua dari Trimurti dan kedua adiknya yaitu KH. Ahmad Fanani dan KH. Imam Zarkasy diwujudkan pula dalam menyekolahkan putra-putrinya selain di sekolah agama (pesantren) juga di sekolah umum. Drs. H. Ali Syaifullah Sahal (alm) alumni Filsafat UGM dan sebuah Universitas di Australia, dosesn di IKIP Malang; Dra. Hj. Rukayah Sahal dosen IKIP (UMJ) Jakarta dll.
Dan tentu menjadi bahan pemikiran anggota Badan Wakaf saat ini untuk mewujudkan Pesntren Gontor menjadi semacam Universitas Al Azhar di Mesir, sebuah universtas yang memiliki berbagai bidang kajian (Agama serta Ilmu dan Teknologi) berbasis Islam.
Pada tahun 1994 didirikan pondok khusus putri untuk tingkat KMI dan pendidikan tinggi yang khusus menerima alumni KMI. Pondok khusus putri ini menempati tanah wakaf seuas 187 hektar. Terletak di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Kini, pondok khusus putri memiliki empat cabang, tiga cabang berlokasi di Ngawi dan satu cabang di Sulawesi Tenggara.
Hingga kini gontor telah memiliki 10 cabang yang terdiri dari 13 kampus di seluruh Indonesia dan santri/ santriwatinya mencapai 14.273 orang. Tidak seperti pesantren pada umumnya, para pengajarnya pun berdasi dan bercelana panjang pantalon.
Kulliyatul-Mu'allimin al-Islamiyah (KMI)
Adalah jenjang pendidikan menengah di Pondok Gontor yang setara dengan SMP dan SMA.Masa belajar dapat diselesaikan dengan empat tahun dan atau enam tahun
Jam belajar
Jam belajar di pondok gontor dimulai pada jam 04.30 saat shalat subuh dan berakhir pada pukul 22:00.
Jam belajar ini terbagi menjadi dua bagian:
Pendidikan formal dimulai dari pukul 07:00 - 12:15
Pengasuhan dimulai pukul 13.00
] Kurikulum dan Pelajaran
Kurikulum KMI yang bersifat akademis dibagi dalam beberapa bidang, yaitu:
Bahasa Arab
Dirasah Islamiyah
Ilmu keguruan dan psikologi pendidikan
Bahasa Inggris
Ilmu Pasti
Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu Pengetahuan Sosial
Keindonesiaan/ Kewarganegaraan.
KMI membagi pendidikan formalnya dalam perjenjangan yang sudah diterapkan sejak tahun 1936. KMI memiliki program reguler dan program intensif.
Program reguler untuk lulusan sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah dengan masa belajar hingga enam tahun. Kelas I-III setingkat dengan pendidikan SMP madrasah tsanawiyah (MTs) jika mengacu pada kurikulum nasional dan kelas IV-VI setara dengan SMA/ madrasah aliyah (MA)
Program intensif KMI untuk lulusanSMP/MTs yang ditempuh dalam 4 tahun.
Bahasa Arab dan bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa pengantar pendidikan, kecuali mata pelajaran tertentu yang harus disampaikan dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Arab dimaksudkan agar santri memiliki dasar kuat untuk belajar agama mengingat dasar-dasar hukum Islam ditulis dalam bahasa Arab. Bahasa Inggris merupakan alat untuk mempelajari pengetahuan umum.
Pengasuhan santri adalah bidang yang menangani kegiatan ekstrakulikuler dan kulikuler. Setiap siswa wajib untuk menjadi guru untuk kegiatan pengasuhan pada saat kelas V dan VI jika ingin melakukan ke jenjang perguruan tinggi di ISID, mereka tidak akan dipungut biaya, tetapi wajib mengajar kelas I-VI diluar jam kuliah.
Pelatihan tambahan bagi guru dengan materi yang sesuai dengan standar pendidikan nasional.
Keterampilan, kesenian, dan olahraga tidak masuk kedalam kurikulum tetapi menjadi aktifitas ekstrakulikuler.
Siswa diajarkan untukbersosialisasi dengan membentuk masyarakat sendiri didalam pondok menggunakan organisasi-organisasi. Mulai dari ketua asrama, ketua kelas, ketua kelompok, organisasi ntra/ ekstra hingga ketua regu pramuka. Sedikitnya ada 1.500 jabatan keta yang selalu berputar setiap pertengahan tahun atau setiap tahun.
Fasilitas
Kompleks pondok pada umumnya terdiri dari masjid besar, aula, gedung dua lantai, dan sekolah. Bangunan asrama melingkari bangunan sekolah.
Terdapat juga:
Asrama santri
Ruang-ruang praktikum
Laboratorium Bahasa Arab dan Bahasa Inggris
Perpustakaan
Poliklinik
Koperasi
Kursus komputer
Warung internet
GOR
Biaya sekolah dan sumber dana
Biaya pendidikan bagi siswa di KMI sebesar Rp. 320.000 per bulan, terdiri dari Rp. 170.000 untuk uang makan dan Rp. 150.000 untuk biaya pendidikan
Dosen dan pengasuh pondok tidak pernah digaji
Manajemen pesantren dilakukan secara swadana dan swakelola
Sumber pendanaan berasal dari santri dan pengembangannya dikelola dalam beberapa unit usaha untuk mendanai pendidikan, pengajaran, dan pengasuhan.
Seluruh pengelola adalah keluarga besar pondok yang terdiri dari para santri dan dosen.
Tidak dipungut Biaya Pendaftaran & Biaya Gedung
Alumni
M. Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR RI
Muhammad Maftuh Basyuni, Menteri Agama
Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah.
KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PB Nahdhatul Ulama (NU)
Abu Bakar Baasyir (Pimpinan Pondok Pesantren Ngruki, Solo)
Nurcholis Majid
Lain-lain
Pada 10 April 2006, merayakan ulang tahunnya yang ke-80 pondok gontor mengadakan acara seperti ceramah, jambore, dan raimuna. Pengadaan acara ini menelan biaya tidak kurang dari Rp. 4 miliar dan turut mengundang wakil presiden Jusuf Kalla dan Gubernur Jawa Timur Imam Utomo.
Rencana pengembangan Institut Studi Islam Darussalam (ISID) menjadi universitas dan membukanya untuk umum.
Merencanakan menambah program pendidikan bahasa Mandarin mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Cina yang pesat.
Para santri/santriwati kelas I-IV dilarang menonton televisi. Saat mereka menginjak V dan VI mereka diizinkan untuk menonton televisi dengan jam terbatas. Hal ini dimaksudkan agar santri/santriwati hanya mendapatkan hal-hal positif, sampai mereka cukup dewasa untuk berpikir, setelah itu baru diberikan hal-hal yang negatif- itupun hanya sebatas pengetahuan.
Pesantren or Pondok Pesantren are Islamic boarding schools in Indonesia. According to one popular tradition, the pesantren education system originated from traditional Javanese pondokan; dormitories for Hindus to learn martial arts and meditation. Institutions much like them are found across the Islamic world and are called pondok in Malaysia and Southern Thailand and madrasa Islamia (Islamic madrasa) in India and Pakistan and much of the Arabic speaking world. Pesantren aim to deepen knowledge of the Koran, particularly through the study of Arabic, traditions of exegesis, the Sayings of the Prophet, law and logic. The term pesantren derives from the root word santri or student -- pe-santri-an or the place of the santri.
As social institutions, pesantren have played a major role over the centuries. They emphasise cores values of sincerity, simplicity, individual autonomy, solidarity and self-control. Young men and women are separated from their families, which contributes to a sense of individual commitment to the faith and close bonding to a teacher.
Description
Most 'pesantren' provide housing or dormitory living at low or no cost for the students (Santri). The two type of educations systems are conducted throughout the day. Students in pesantren have almost 20 hours activities starting from early morning prayer starting at 4 am to midnight where they ended the evening with a study group in the dormitory. During the day, students attend formal school (which is mandatory until secondary school by 2005) like any other students outside of pesantren, and in late afternoon and evening they have to attend religious ritual followed by religious studies and group studies to complete their homework.
Pesantren provide to Indonesian citizens at low cost; although today some modern pesantren charge higher fees than previously, they are still significantly cheaper than non-pesantren educational institutions. The traditional pattern was for students to work in the headmaster's rice fields in exchange for food, shelter, and education.
All pesantren are led by a group of teachers and religious leaders known as Kyai. . The Kyai is respected as teacher and devout man. Kyai also play important roles in the community as a religious leader and in recent years as a political figure. There are Kyai families that have a long history of serving in this role. Some contemporary Kyai are the grandsons and great-grandsons of famous historical figures who established well known pesantren.
Starting in the second half of the Twentieth Century, some pesantren started adding secular subjects to their curriculum as a way of negotiating Modernity. The addition of state recognized curricula has affected traditional pesantrenin a number of ways. It has led to greater control by the national government. It has also restricted the number of hours available for the traditional subjects making for difficult decisions. Many pesantren leaders have decided that the training of religious leaders is not their sole purpose and are now satisfied to graduate young men and women who have the morality of Kyai. .
The reduction of hours available to now master two curricula has led to practical changes. While it is still possible for the children of the poor to work in the Kyai's economic ventures (more than just rice fields these days), most parents will pay both room and board and small tuition. The time that used to be spent working, is now spent in secular education
Pesantren curriculum has four possible components: 1) traditional religious education, called ngaji; 2) government recognized curricula (there are two different types to choose from); 3) vocational skills training; 4) character development. Pesantren differ to the degree that they engage each of these components, however all feel that character development for the students is the defining characteristic of any pesantren.
Through curricular redesign pesantren people engage in a process of (re)imagining modernity. Modernity must be first imagined as potentially dangerous in terms of the morals that often accompany it. It must then be imagined as redeemable; that it can be detached from one set of "problematic" morals and reattached to Islamic morality.
One prominent pesantren figure in Indonesia is Abdurrahman Wahid (Gus Dur), a former President of Indonesia. He was well educated in pesantren during his youth and grown up as a grandson of a Kyai, the founder of one of Indonesian religious political organizations, Nahdlatul Ulama. Gus Dur himself was the head of this organization from 1984 until 1999. After his term as President of Indonesia, Gus Dur returned to teaching in his pesantren in cianjur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar